Sebagian masyarakat di Jawa Tengah khususnya daerah magelang masih meyakini mitos tentang gerhana matahari, masyarakat meyakini gerhana matahari merupakan waktu ketika buto (monster) yang bernama Batara Kala sedang mencaplok (memakan) matahari.
Biasanya saat gerhana terjadi, para orang tua akan menyembunyikan anak-anak mereka di kolong tempat tidur dan menaruh sesajen di atasnya. Karena masyarakat meyakini anak anak mereka tidak akan ikut dicaplok (dimakan) oleh buto jahat yang sedang turun ke bumi.
Dari cerita mitos masyarakat mengenai gerhana matahari total berasal dari cerita Batara Kala (Buto Jahat) mencaplok matahari yang datang dari negeri kayangan Suralaya yang berada di puncak tertinggi pegunungan Menoreh, perbatasan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan Kulonprogo, DIY.
Konon menurut masyarakat disana, di puncak itu terdapat Puthuk Songo (sembilan) yang dihuni oleh Betara Songo (betara sembilan) atau dewa. Suatu hari, Pimpinan para dewa yang bernama Batara Guru ingin memberikan air Tirta Kamandanu yang memiliki tuah luar biasa. Air Tirta Kamandanu itu dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit, memberikan umur panjang dan dapat mensejahterakan umat.
Seluruh Batara Sembilan berkumpul untuk mendapatkan air Tirta Kamandanu dari Batara Guru kecuali Batara Kala. Batara kala yang memiliki sifat licik menyusup diantara batara yang sedang mengantri air itu, ia menyamar sebagai Batara Indra (Batara Hujan) dan berhasil meminum air yang berkhasiat itu.
Penyamaran Batara Kala pun diketahui oleh Batara Surya (Batara Matahari). Ia marah kemudian melaporkanya kepada Batara Guru. Dan Batara Kala dihujat dan diserang oleh Dewa Wisnu tanpa ampun.
Dari peristia itu, Batara Kala bersumpah akan membalas dendam atas perbuatan Batara Surya yang telah melaporkanya. Pada saat saat tertentu ia akan mencaplok (memakan) matahari, dan saati itulah terjadi gerhana matahari di bumi.